Roma dan Lazio misalnya, derby sohor dari ibukota Italia, bukan hanya mempertemukan rivalitas masyarakat urban (basis mayoritas pendukung Roma) dan daerah suburban (basis Lazio) - seperti halnya persaingan Persita dan Persikota di Tangerang. Pemicu rivalitas abadi adalah dua basis tifosi ultras (fanatik) mereka yang secara politis berseberangan. Irriducibili adalah fanatik Lazio kader-kader fasis yang juga rasis, binaan Mussolini, yang sering membuat ulah. Kekuatan mereka disaingi dengan kelompok fanatik Roma, Fedayn, yang beraliran ekstrim kiri, yang notabene merupakan kekuatan oposan terbesar dari Irriducibili.
Kelompok-kelompok suporter ultra-keras itu juga membuat cabang-cabang di klub lain. Jika kita mengenal identitas "Irriducibilli", artinya isinya adalah orang-orang fasis beraliran ekstrim kanan. Tercatat Lazio dan Inter adalah dua klub terkemuka yang didukung jaringan Irriducibilli. Sementara Viking juga berisikan golongan serupa dengan Irriducibilli, yang juga menjadi basis kekuatan klub macam Inter, Juventus, dan Lazio.
Publik mungkin masih ingat dengan provokasi kapten Lazio (waktu itu) ke hadapan ribuan tifosi Livorno dengan salam Il Duce-nya. Hal itu menjadi masalah besar karena yang dihadapi oleh Di Canio adalah tribun Brigate Autonome yang selairan dengan Fedayn. Di Canio dibesarkan sebagai seorang irriducibile Lazio yang memiliki darah fasis kental. Darah fasis biasanya rasis. Oleh karena itu, seorang Sinisa Mihajlovic yang menghamba ke pemimpin fasis Serbia, sempat menjadi ikon bagi suporter ultras Lazio karena perilaku rasisnya. Tifosi Lazio sangat terkenal rasis, sampai direktur klub menginstal beberapa pemain berkulit hitam dalam diri Fabio Liverani pada masa lalu. Sekarang, kehadiran Gaby Mudingayi dan Ayodele Makinwa menjadi penenang untuk Irriducibilli.
Perkara rasis juga menjadi problem Internazionale. Marc Zoro adalah korban dari keganasan perilaku rasis kelompok ultra kanan mereka, Viking (dan penjelmaan versi kecil-nya, Irriducibili). Kelompok tersebut juga golongan tifosi yang bersuara vokal terhadap presiden klub, Massimo Moratti. Alih-alih demi kepentingan klub, Moratti tidak disukai karena kedekatannya dengan politisi kiri dari Roma seperti Romano Prodi. Ironisnya, tokoh beraliran kanan dari kota Milan justru dimiliki rival sekotanya, AC Milan yang memiliki politisi Silvio Berlusconi. Dan tambah ironi ketika basis suporter Milan sebetulnya banyak yang beraliran ekstrim kiri dalam diri Fossa Dei Leoni (kini telah membubarkan diri). FDL dan Viking selalu terlibat kerusuhan, seperti yang terlihat jutaan pemirsa ketika Viking melontarkan petasan ke kiper Milan, Dida, di perempat final Liga Champions beberapa tahun lalu. Bahkan FDL kini telah bubar gara-gara mereka didakwa bersalah dalam keributan dengan Viking tahun lalu selepas derby. Viking juga dibekukan dengan banyak pentolannya dipenjara.
Dan tahun ini, jelang derby kedua musim 2006/2007 dimana Inter menjadi tuan rumah, barisan ultras kanan lain, Boys San siap menjamu "saudara" mereka, Brigata Rossoneri yang juga beraliran serupa. Sama halnya dengan derby pertama ketika BR menjamu Boys San. Partai berakhir tanpa kerusuhan. Tetapi, tanpa berharap terjadinya kerusuhan, bumbu-bumbu politik pada masa lalu yang menghiasi derby Milan adalah penyedap atmosfer sepakbola. Mereka sering membuat ragam atraksi menarik yang berisi provokasi atau lecutan semangat buat pemain. Seperti diakui Massimo Oddo, bahwa derby terbaik di Italia saat ini hanyalah derby della capitale (derby ibukota) yang atmosfernya konon mengalahkan final Piala Dunia. Itu terjadi karena Fedayn dan Irriducibili masih mendominasi wajah-wajah penonton yang hadir di Olimpico.
"Provokasi" Fossa Dei Leoni (ultras Milan) terhadap tifosi Inter (Interista) yang digambarkan sebagai orang yang hanya bisa memandangi kesuksesan tetangga mereka (Milan) lewat jendela dan berangan-angan yang tidak pernah terwujud.
Dan memang, itulah dinamika wajah calcio yang punya sejarah panjang dan kebanggaan tinggi terhadap identitas klub mereka. Klub adalah representasi wawasan politik bagi tifosi, dan juga pemain. Dan itulah yang mereka bawa ke lapangan dengan filosofi: "...apapun, asal tidak kalah!".